Alasan Mendukung Self Determination Bangsa West Papua
Foto,fb
Oleh : Riko Tude
SUARA MAMBRUK - Pada tanggal 1 Desember 1961, bangsa rakyat West Papua melalui keyakinan yang teguh mendeklarasikan kemerdekaannya, lebih lanjut dikenal dengan "Manifesto Politik Papua Barat". Dalam manifesto tersebut sudah muncul embrio dasar-dasar negara West Papua, yaitu bendera Bintang Kejora sebagai bendera negara, lagu Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan, burung Mambruk sebagai lambang negara. Namun deklarasi tersebut rupanya tidak diindahkan oleh pemerintah Indonesia, karena menganggap bahwa negara West Papua merupakan negara boneka bentukan Belanda.
Kemudian pada 19 Desember 1961, di ulun-alun utara kota Yogyakarta, pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Soekarno mengeluarkan "Dekrit Perang" TRIKORA. Tindak lanjutnya pada tanggal 2 Januari 1962, melalui Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Soekarno membentuk Komando Mandala dengan agenda merebut Papua Barat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Bagi rakyat bangsa West Papua, operasi militer ini adalah upaya dari negara Indonesia menganeksasi bangsa West Papua.
Pada 15 Agustus 1962, secara sepihak, Belanda dan Indonesia menandatangani New York Agreement bersama Amerika Serikat (AS) sebagai pihak mediator, tanpa melibatkan rakyat West Papua. Padahal dalam perjanjian tersebut mengatur masa depan rakyat West Papua yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, di antaranya adalah mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional yang diatur dalam Resolusi 1514 PBB, yaitu prinsip "One Man One Vote" (satu orang satu suara) dan "Act of Free Choice" (tindakan pilihan bebas); dibentuk Badan Pemerintahan Sementara di wilayah konflik West Papua oleh PBB yakni United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA); serta mengatur transfer administrasi dari UNTEA kepada Indonesia.
Pada 14 Juli-2 Agustus 1969, penentuan nasib sendiri (self determination) rakyat West Papua diselenggarakan. Kita mengenalnya dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). PEPERA sendiri dilakukan secara tidak demokratis, karena hanya 1026 orang yang dipilih yang sebelumnya sudah dikarantina dalam pengawasan tekanan militer untuk terlibat dalam pemungutan suara. Sedangkan jumlah penduduk West Papua waktu itu kurang lebih 800 ribu jiwa, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat Papua, yang di-setting memilih setuju Papua Barat diintegrasikan ke dalam NKRI. Hal ini jelas jauh dari prinsip "Act of Free Choice", sehingga beberapa kalangan menyebut "Act of No Choice" sebagai bentuk kritik terhadap proses dan hasil PEPERA 1969. Dua tahun sebelumnya, tepatnya 7 April 1967, pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Soeharto telah melakukan pengklaiman wilayah West Papua sebelum PEPERA dilakukan, ditandai ketika Soeharto melakukan penandatanganan kontrak karya bersama Freeport (perusahaan asal AS). Artinya pemerintah Indonesia melaksanakan PEPERA halnya sebuah tindakan formalitas, tanpa menyentuh aspek subtansial dalam hal penentuan nasib sendiri yang sesuai dengan praktek-praktek internasional. Dengan kata lain PEPERA dapat dikatakan TIDAK SAH.
Sudah setengah abad lebih (58 tahun) bangsa West Papua menjadi bagian dari NKRI yang merdeka, namun rakyat West Papua sungguh tak mendapatkan kemerdekaan sejati selama terintegrasi. Sebaliknya pelanggaran HAM, penculikan, pembunuhan, dan kriminalisasi aktivis/tokoh, perampasan tanah adat, pengerukan SDA, kerusakan hutan, rasisme, serta pembungkaman ruang demokrasi menjadi makanan sehari-hari yang harus—terpaksa—ditelan oleh rakyat bangsa West Papua.
Kasus terbaru, (1) Operasi Militer sejak Desember 2018 di Nduga membuat ribuan penduduk Nduga terpaksa harus mengungsi ke hutan-hutan atau ke daerah kabupaten tetangga. Akibatnya ada yang meninggal di hutan, ada seorang ibu hamil yang melahirkan saat pelarian di hutan, dan banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah. Menurut data dari Relawan Pengungsi Nduga di Wamena yang terdiri dari beberapa LMS dan Gereja, menyebutkan setidaknya ada 182 orang korban jiwa sejak operasi militer dilakukan pada Desember tahun lalu. (2) Pengepungan asrama mahasiswa Papua disertai ujaran rasisme di Surabaya pada pertengahan bulan Agustus lalu. Sampai sekarang pelaku ujaran rasisme tersebut tak pernah diadili oleh negara. (3) Sebaliknya, negara justru melakukan penangkapan dan kriminalisasi terhadap aktivis Papua, beberapa diantaranya dikenai dengan pasal Makar, termasuk Surya Anta—orang Indonesia pertama yang dijerat pasal makar karena mendukung penentuan nasib sendiri bangsa West Papua.
Sebagai orang Indonesia, saya mengutip apa yang pernah diucapkan rekan saya, Surya Anta, ketika melakukan konferensi pers deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (2016): "Adalah kemunafikan apabila kita atau pemerintah Indonesia bisa mendukung pembebasan Palestina tapi diam dan membiarkan penjajahan yang terjadi dalam bingkai teritori Indonesia. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan menganggap West Papua sebagai bagian Indonesia baik dalam hukum internasional maupun secara politik."
Dukungan terhadap bangsa West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri adalah bagian tidak terpisahkan, sekali lagi, BAGIAN TIDAK TERPISAHKAN dari proses perjuangan demokratisasi di Indonesia. Tanpa demokrasi yang dibuka seluas-luasnya, negeri ini diambang pada kekuasaan yang otoriter. Selain itu dukungan kita terhadap bangsa West Papua merupakan bagian dari upaya pelurusan sejarah, sebagaimana manusia mestinya memahami sejarahnya, termasuk juga rakyat bangsa West Papua.
Foto: 1 Desember 2017, aksi peringatan deklarasi kemerdekaan bangsa West Papua di Jakarta.
#FreeWestPapua
#friwp
Label: Catatan Camrade
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda