Sabtu, 07 Desember 2019

Jokowi telah gagal menuntaskan Pelangaran ham berat PANIAI BERDARA

Foto pelajar yang di temabk



SUARA MAMBRUKPaniai Tanggal 8 Desember 2019, genap lima tahun tragedi penembakan terhadap empat pelajar di lapangan Karel Gobai Enarotali, Kabupaten Paniai. Janji Presiden Joko Widodo akan mengusut tuntas kasus yang terkenal dengan sebutan “Paniai Berdarah”, belum juga ditepati hinggah hari ini

Paniai (8 desember 2014) hinggah tni porli ( 8 desember 2019)
Dibawa kekuasaan Pemerintah Jokowi telah menembak dan Menewaskan 4 siswa SMP SMA di enarotali paniai.

Kado natal pertama pemerintahan jokowi kepada rakyat papua yang belum tuntas hingga kini 08 desember 2019



Keluarga Korban Tolak Kompensasi
Tidak diproses, keluarga korban kasus Paniai Berdarah justru ditawarkan uang oleh pemerintah. Nominalnya amat menggiurkan: Empat Miliar Rupiah.
Tawaran tersebut ditolak keluarga korban.
Obet Gobai saat jumpa pers di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, Jumat kemarin, mengaku tawaran uang itu sebagai kompensasi atas tewasnya empat pelajar di Enarotali.
Ia bersama tiga keluarga korban menolak tawaran tersebut. Alasannya, mereka mau pemerintah harus mengungkap para pelaku penembakan.
“Saya menolak uang empat miliar (dari pemerintah). Bantuan apapun saya tolak. Pak Jokowi, Kapolri, Panglima, keadilan harus ada karena kalian tembak mati anak kami yang mau sekolah untuk menjadi tuan di atas tanah airnya sendiri,” tuturnya didampingi aktivis HAM Papua, Yones Douw.
Alasan Obet tak menerima dana kompensasi, nyawa putranya, Apius Gobai, tak bisa dibeli dengan uang.
“Kami tidak mau terima uang karena anak kami bukan barang. Manusia tidak bisa dibeli dengan uang.”
Menurut Obet, tujuan dia ke Jakarta adalah menagih janji Presiden Jokowi yang mengatakan akan mengusut pelaku penembakan empat tahun silam.
Kalau kemudian pemerintah tidak mampu tuntaskan kasus Paniai Berdarah, keluarga korban minta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) segera ambil alih untuk proses penyelesaiannya.
Menegaskan pernyataan Obet, peneliti Amnesty International Indonesia untuk Papua, Papang Hidayat, mengatakan, dalam sebuah kasus, uang kompensasi yang diberikan dianggap substitusi atau pengganti dari proses pengadilan. Artinya, keluarga korban tidak lagi menuntut jika sudah terima kompensasi.
“Kompensasi yang berusaha diberikan kepada keluarga korban itu dianggap sebagai substitusi pengganti dari pengadilan. Jadi kalau dia terima, dianggap sudah tidak boleh ngomong lagi,” tuturnya, dikutip dari kompas.com.
Belakangan korban meninggal duniai bertambah menyusul meninggalnya Yulianus Yeimo pada April 2018. Yulianus Yeimo adalah pemuda di kampung Ipakiye, korban penganiayaan oleh oknum aparat keamanan pada tanggal 7 Desember 2014 malam, beberapa jam sebelum terjadi tragedi berdarah di Lapangan Karel Gobai Enarotali.
Yulianus Yeimo, menurut keterangan tertulis yang dirilis Amnesty International, mengalami luka bengkak pada bagian belakang telinga kanan dan kiri, serta luka robek di ibu jari kaki kiri. Luka tersebut akibat pukulan popor senjata api laras panjang.


Nonton juga:






Admin: Mambruk



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda