Minggu, 21 Juli 2019

WEST PAPUA: SAYA BUKAN ORANG INDONESIA DAN JUGA SAYA BUKAN BANGSA INDONESIA







Oleh : Gembala Dr. Socratez S.Yoman



1. Pendahuluan

Penulis menyadari bahwa tulisan dengan topik ini jelas akan muncul berbagai tanggapan dari para pembaca setia setiap tulisan saya. Berbeda respons itu pasti dan itu yang disebut dengan seni dalam dinamika hidup. Perbedaan itu merupakan kekakayaan dan kekuatan kita dalam hidup saling melengkapi, menguatkan, meneguhkan dan saling menginspirasi satu sama yang lain. Karena kita masing-masing unik dengan telenta dan potensi dan juga latar  belakang keyakinan iman, tingkat pendidikan,  bidang profesi, visi politik, cita-cita dan harapan masa depan.

Topik ini penulis angkat dan tulis bukan untuk mempengaruhi orang lain, teristimewa rakyat dan bangsa West Papua. Karena saya menyadari bahwa tulisan ini hanya merupakan perenungan dan refleksi personal sebagai orang Melanesia yang dilahirkan dan dibesarkan di West Papua di tengah-tengah orang Lani yang berdaulat. Jadi, saya mau menulis dalam konteks dan kapasitas sebagai orang Lani.

Sebelumnya penulis menegaskan bahwa saya orang Melanesia tulen dan bangsa West Papua asli. Martabat saya sebagai anak Melanesia tulen dan putra  bangsa West Papua asli tidak perlu dipertanyakan. Itu harganya/nilainya tidak diubah dan hidup yang dinamis dalam spirit ke-Melanesia-an dan ke-Papua-an dan juga ke-Lani-an.

Saya sadar dan tahu identitas saya dan jatidiriku. Saya dilahirkan dan dibesarkan diantara bangsaku Melanesia di West Papua yang tertindas. Saya lihat, saya dengar, saya tahu,  bangsaku sedang menangis dan menderita di atas tanah leluhur mereka karena tirani kolonial penguasa Indonesia.  Saya berjuang untuk bangsaku yang teraniaya dan terabaikan dengan cara dan gaya saya. Saya berdiri dengan jalan ini  sebagai wujud dan bukti pertanggungjawaban iman dan ilmu pengetahuan saya untuk bangsaku.  Saya tidak punya uang untuk buat mereka gembira dan senyum indah di wajah mereka. Hemat saya,  itu bukan caranya. Saya rindu bangsaku sedikit senyum waktu membaca tulisan. Itu cukup bagi saya. Sedikit senyuman bangsaku adalah kegembiraanku. Saya tidak peduli apa kata orang tentang cara saya.  Tapi saya respek mereka yang tidak setuju dengan saya. Saya menghormati semua orang. Saya mengasihi orang-orang yang bersuara dan berjuang untuk keadilan, perdamaian, harmoni, kebebasan dan martabat manusia.

2. Apa dasarnya saya bukan orang Indonesia dan saya bukan bangsa Indonesia?

Ada beberapa fakta yang tidak dapat dibantah.  Dan fakta-fakta itu sering dikaburkan, bahkan dihancurkan oleh penguasa kolonial Indonesia.

2.1. Saya orang Lani.

Kata "Lani"  memiliki  arti yang lebih dalam dan kuat.  Jika ditambah dengan kata  "Ap"  maka menjadi "Ap Lani" dan ia memiliki arti dan makna yang sempurna,  yaitu  Orang-orang Otonom, orang-orang mandiri, orang-orang independen dan orang-orang berdaulat penuh.

Ap Lani itu bisa dalam bentuk tunggal dan juga dalam bentuk jamak. Tergantung konteks kita bicara. Pembahasan ini lebih luas, maka saya fokuskan diri pada apa yang saya rindu sampaikan yang berkaitan dengan topik tulisan ini.

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri" (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

Kata Lani itu artinya: " orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya."

Contoh:  Orang Lani mampu dan sanggup membangun rumah (honai) dengan kualitas bahan bangunan yang baik dan bertahan lama untuk jangka waktu bertahun-tahun. Rumah/honai itu dibangun di tempat yang aman dan di atas tanah yang kuat. Sebelum membangun honai, lebih dulu dicermati dan diteliti oleh orang Lani ialah mereka melakukan studi dampak lingkungan. Itu sudah terbukti bahwa rumah-rumah orang-orang Lani di pegunungan jarang bahkan tidak pernah longsor dan tertimbun tanah.

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan  honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik.  Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh  untuk melindungi rumah dan juga kebun.

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran.

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain.

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya.

Dari uraian singkat ini memberikan gambaran yang jelas bahwa pada prinsipnya orang Lani itu memiliki identitas yang jelas dan memelihara warisan leluhur dengan  berkuasa dan berdaulat penuh sejak turun-temurun.

Dalam suka Lani ada tingkatan  dalam penggunaan dan pemanggilan nama orang.   Contoh:   Panggilan terhormat bagi orang berbadan tinggi ialah Owakelu. Owakelu ada dua kata: Owak dan Elu. Owak artinya tulang dan Elu artinya tinggi. Jadi tidak bisa disebut orang tulang tinggi.

Panggilan terhormat bagi orang badan besar ialah anugun nggok. Anugun artinya perut. Nggok artinya besar. Jadi bukan orang perut besar.
Dalam sukua Lani juga ada panggilan orang-orang terpandang dan pemimpin yang dihormati dan didengarkan. Misalnya:  Ndumma artinya pemimpin pembawa damai, pembawa kesejukan dan ketenangan, pelindung dan penjaga rakyat. Ndumma itu gelar tertinggi dan terhormat dalam suku Lani. Suara Ndumma tidak biasa dilawan oleh rakyat karena ada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih, kedamaian dan pengharapan.

Ap Nagawan, Ap Wakangger, Ap Nggok, Ap Nggain, Ap Akumi Inogoba. Ini semua pangkat dan sebutan orang-orang besar dan pemimpin yang digunakan dalam bahasa Lani. Semua pemimpin ini suara dan perintahnya selalu dipatuhi dan dilaksanakan karena ada wibawa dalam kata-kata. Mereka semua pelindung dan penjaga rakyat.

Pastor Frans Lieshout, OFM melegitasi,  mendukung dan memperkuat apa yang saya sampaikan dalam hal Kemandirian, Otonomi,  Kedaulatan dan Martabat  orang Lani.

"Saya masih  mengingat masyarakat Balim (Suku Hubla) seperti kami alami waktu pertama kali datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, bangga dan puas dengan keberadaan mereka. Mereka hidup mandiri dalam segala hal. Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya dan bagaimana semangat kebersamaan dan persatuan mereka dalam marga, silimo, honai, konfederasi dan seterusnya mewarnai seluruh kehidupan mereka. Nilai kebersamaan itu nampak dalam artisektur rumah-rumah dan kampung, dan caranya saling bersalaman dalam acara-acara suku dan duka dengan makan bersama secara unik, dalam mengerjakan kebun, dalam melakukan perang dan menari bersama... Menyadari bahwa segala kebutuhan mereka dapat diperoleh dari tanah, maka orang Balim rajin bekerja. ...Para pemimpin tradisional mengatur dengan penuh wibawa kepentingan masyarakat mereka dan tidak ada orang yang menentang atau mendemo mereka. Maka profil asli orang Balim adalah kurang lebih sebagai berikut:
Orang Balim biasanya tampil dengan gagah, ia suka mandiri dan hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya, ia menjunjung tinggi kehidupan bersama dan bersatu dengan orang lain, ia mempunyai rasa harga diri tinggi, ia trampil sebagai petani dan rajin bekerja. Ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah megemis. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat. Para pemimpin berpihak pada kepentingan masyarakat. Semuanya ini kedengarannya sangat ideal dan orang-orang yang datang dari luar, yang berusaha untuk mengenal orang Balim dengan kebudayaannya itu, menjadi kagum karenanya." "Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua: Sebuah Refleksi Pribadi: 2019, hal.85-86).

Pastor Frans menulis dalam konteks kebudayaan Suku Hubula, tetapi apa yang ditulis Frans,  semuanya, hampir 100%,  sama dan ada dalam suku Ap Lani. Hanya bedanya saudara-saudara di Lembah Balim dipanggil Suku Hubula dan suku yang hidup diarah Barat dari Lembah Balim disebut Ap Lani. Ini

2.2. Proses pemaksaan untuk menerima  ideologi orang lain.

Saya diajarkan dan dipaksa mengfalal Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda,  dipaksa hafal tanggal 17 Agustus 1945, dipaksa menghafal lagu Indonesia raya, dipaksa hormat bendera merah putih. Saya juga dipaksa belajar nama pahlawan orang lain, contoh: Diponegoro, Hassanuddin. Saya dipaksa belajar Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan lain-lain.  Ini semua kejahatan yang merusak dan menghancurkan apa yang orang Lani, bangsa West Papua dan orang Melanesia miliki.

Ini semua seperti tanaman dan rumput liar yang dipaksa tanam dalam pikiran saya. Ini semua tidak memajukan masa depan rakyat dan bangsa West Papua. Ini semua tidak berguna dan bermanfaat dalam kelangsungan hidup bangsa West Papua karena bibit liar yang dipaksa tanam di semak-semak dan di atas batu-batu. Artinya diajarkan paksa pada bangsa yang terus menolak ideologi asing.

2.3. Proses pemaksaan dalam bidang sejarah politik yang salah

Bagian ini misi saya dengan konsisten dan terus menerus menulis dalam setiap tulisan saya. Alasan saya, bahwa benang merah sebagai akar pokok persoalan ini jangan terputus,  apalagi digelapkan dan dihilangkan. Karena,  seluruh rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak tahu tentang kejahatan,  kekejaman dan brutalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampok hak politik rakyat dan bangsa West Papua pada 1969.

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin, ada fakta sejarah,  militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..."  (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."

(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).

Militer Indonesia benar-benar menimpahkan malapetaka bagi  bangsa West Papua. Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.  Kekejaman TNI bertolak belakang dengan fakta menyatakan mayoritas 95% rakyat West Papua memilih untuk merdeka.

"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."

(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."

(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka."  (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Pada 2 Agustus 1969 merupakan hari terakhir pelaksanaan Pepera 1969  di Jayapura. Pada saat ini siangkuh dan sombong Brigjen Ali Murtopo dari mimbar menghina dan mencemooh rakyat dan bangsa West Papua dari mimbar kepada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

"Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya. Jika orang Papua ingin mandiri, lebih baik beranya kepada Tuhan, apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk berimigrasi." (Sumber: Kesaksian Pdt. Hokujoku anggota DMP).

Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda mengatakan:

"Pada 22 Agustus 1968, Dr. Ferdinant Ortiz Sanz melakukan kunjungan pertama ke Irian Jaya Barat. Ketika ia tiba, tugas-tugas kepolisian sebagian besar sudah diambil alih oleh tentara, dan selama seluruh kediamannya lebih lanjut kerja misi kami dengan penduduk Papua diawasi dengan ketat." (Sumber: Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib, 2010, hal. 693).

TNI dan Polri benar-benar berperak aktif merampok hak hidup rakyat dan bangsa West Papua. TNI dan Polri dengan secara brutal membantai rakyat Papua atas nama keamanan Nasional dan kepentingan kedaulatan NKRI. TNI  memberikan stigma rakyat Papua OPM, Separatis, Makar dan mitos-mitos lainnya sesuai selera penguasa dan penindas.

Rakyat yang memperjuangkan hak hidup, keadilan, perdamaian, hak atas tanah dan hak masa depan yang lebih baik di atas tanah leluhur selalu dianggap musuh negara dan harus ditembak maka dengan mudah dihilangkan nyawanya.

Salah satu contoh penembakan 4 siswa pada 8 Desember 2014 di Paniai yang jelas  pelakunya TNI tapi dianggap biasa, bahkan Presiden RI  Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini tapi sampai akhir jabatan periode pertama tidak dipenuhi janji itu.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengakui kekejian TNI dalam bukunya: "Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme" (2015).

"...Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" (hal. 255).

Magnis menambahkan: "...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski kita dipakai senjata tajam" (hal. 257).

Aristoteles Masoka, sopir Theys Eluay yang ikut diculik belum pernah ditemukan. Pembunuh Theys dan sopirnya,  Letkol Hartomo Komandan Satgas Kopassus Tribuana, Hamadi-Jayapura pada 2001 (waktu itu) sekarang sudah menjadi Kepala BAIS.

Pendeta Elisa Tabuni ditembak mati pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Puncak Jaya oleh Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Kopassus, Letkol Inf. Yogi Gunawan. Para pembunuh pendeta ini juga tidak pernah ditangkap dan diproses  dihukum. Para pembunuh rakyat Papua selalu dihormati karena dianggap pahlawan nasional.

TNI menembak mati Tokoh Gereja Kemah Injil di  Nduga,  Pendeta Geyimin Nigiri pada 19 Desember 2019 di rumahnya di Nduga.  Penembakan seorang pendeta ini masih dibantah bahkan disebarkan berita bohong kepada publik oleh Kapendam Mayor Muhammad Aidi. Sampai saat ini TNI dan Polri belum mengungkap pelakunya.

3. Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan ini penulis menyampaikan beberapa pokok yang selalu menjadi pijakan, pedoman, pegangan, kekuatan, komitmen, cahaya hati dan spirit saya untuk membela bangsaku Melanesia di West Papua.

Karena itu, dalam tulisan ini mengapa saya membagikan kepada para pembaca dengan judul: "SAYA BUKAN INDONESIA DAN SAYA BUKAN BANGSA INDONESIA." Dasar keberanian iman dan ilmu pengetauan saya untuk membela martabat dan kehormatan bangsa saya sebagai berikut:

3.1. Selama 57 tahun, saya melihat  dan menyaksikan dan  mengalami bangsa saya dibantai oleh penguasa kolonial pemerintah Indonesia, TNI-Polri seperti hewan dan binatang atas nama dan kepentingan keamanan nasional dan slogan NKRI harga mati. Para pelaku kejahatan kemanusiaan ini diberikan pangkat pahlawan, dilindungi dan dipromosikan jabatan. Ada terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia di West Papua secara sistematis, terprogram dan terstruktur.

3.2. Saya sudah belajar dokumen Sejarah  Pepera 1969. Hasil Pepera 1969 ada dua versi, versi Indonesia, Annex II,  100% laporan yang berisi kebohongan Indonesoa; dan versi perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, Annex I, 100% laporan kejahatan ABRI dan juga perlawanan dan perjuangan rakyat dan bangsa West Papua pro-Merdeka.

3.3. Saya sudah SEKOLAH dalam sistem Pendidikan yang diselenggarakan Indonesia dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.  Tetapi saya belum dijadikan orang Indonesia dan Bangsa Indonesia. Saya tetap orang Melanesia, bangsa West Papua dan Ap Lani.

3.4. Kami sudah TAHU semua. Jangan pikir kami belum TAHU. Jadi, hargai kami. Karena kami juga manusia bukan hewan. Kami juga mau hidup secara bermartabat dengan alam kami, tanah kami, roh-roh leluhur kami secara damai dan harmoni.

Doa dan harapan saya, tulis kecil ini menjadi berkat.

Ita Wakhu Purom, 21 Juli 2019.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda